Rabu, 05 Desember 2018

ALAT PERAGA KAMPANYE DALAM PERSPEKTIF PENGAWAS PEMILU


Kriteria APK dalam PKPU 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu (Pasal 32)

Kampanye.. ya, Mungkin merupakan kata yang familiar terucap dan terdengar jelang Pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 2019. Masa kampanye adalah tahapan krusial bagi Peserta Pemilu dalam memaksimalkan waktu, cara, metode dan alat peraga untuk menyampaikan pesan barupa visi, misi dan program kepada masyarakat dan menyakinkan Pemilih untuk memilih Partai, Pasangan Calon, dirinya sebagai calon legislator di daerah maupun di pusat dan senator secara efektif dan efisien.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 1 angka 35 menyebutkan bahwa Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Sedangkan yang dimaksud dengan Peserta Pemilu pada Pasal 1 angka 27 adalah Partai Politik untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, Perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan Pasangan calon yang diusulkan oleh Partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Mendefinisikan Alat Peraga Kampanye
Dalam tulisan ini Penulis hanya focus kepada Alat Peraga Kampanye yang dipergunakan oleh Kontestan Pemilu baik Partai Politik, Pasangan Calon, Calon DPD dan Caleg dalam melaksanakan kampanye dalam upaya untuk menarik dan menyakinkan Pemilih dan melakukan pendidikan politik kewargaan, membangun ruang demokrasi yang lebih bergairah dan Pemilu yang penuh kegembiraan.

Pertama apa yang dimaksud dengan APK, dan dapatkah dipasang ditempat umum? Apakah APK yang dibuat oleh Caleg dapat disebut dengan alat peraga kampanye sesuai yang diatur oleh UU No 7 tahun 2017 tentang pemilu dan Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 tahun 2018 sebagaimana telah diubah 2 (dua) kali yakni PKPU 28 dan PKPU 33 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan umum?
 
Pemasangan Alat peraga ditempat umum diatur di beberapa pasal diantaranya Pasal 32 disebutkan bahwa Peserta pemilu dapat mencetak dan memasang alat peraga kampanye yang meliputi baliho (paling besar ukuran 4 meter x 7 meter), billboard atau videotron (paling besar ukuran 4 meter x 8 meter), spanduk (paling besar ukuran 1,5 meter x 7 meter) dan/atau umbul-umbul (paling besar ukuran 1,15 meter x 5 meter). Adapun desain dan materi pada alat-alat peraga kampanye tersebut paling sedikit memuat visi, misi dan program peserta pemilu serta mengutamakan penggunaan bahan yang dapat didaur ulang.

Pasal 33 menyebutkan KPU dapat memfasilitasi pemasangan APK, Pembuatan desain dan materi  APK dibiayai oleh Peserta pemilu serta mekanismenya ditetapkan dengan Keputusan KPU. Sedangkan Pasal 34 menyebutkan Bahwa APK dipasang pada lokasi yang telah ditentukan, Lokasi Pemasangan APK dilarang di Tempat ibadah termasuk halaman, rumah sakit, fasilitas kesehatan, gedung milik pemerintah dan lembaga pendidikan. Pemasangan APK dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota.

Dari regulasi diatas maka jelas disebutkan alat peraga kampanye hanya digunakan oleh Peserta pemilu dalam hal ini Partai Politik, Perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan Pasangan calon yang diusulkan oleh Partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Alat sosialiasi Calon Anggota DPR
Muncul pertanyaan, bagaimana dengan “alat peraga” yang dicetak dan dipasang secara personal oleh para calon anggota legislatif? Apakah relevan dengan maksud alat peraga yang didefinisikan dalam Undang-Undang maupun PKPU?

Jika dipahami secara tekstual maka yang dimaksud visi, misi dan program peserta pemilu hanya melekat pada Partai Politik semata dan tidak pada personal calon anggota legislatif, hal ini relevan dengan fungsi lembaga perwakilan yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Disamping itu tidak ada kewajiban bagi Caleg untuk menyerahkan visi, misi dan program kerja saat mendaftar di KPU/KIP.

Memang tidak terdapat narasi yang melarang para caleg tidak diperbolehkan mencetak dan memasang Alat peraga karena itu merupakan bagian dari sosialisasi dan interaksi dengan konstituen di daerah pemilihan mereka.

Atas dasar tersebutlah penulis berpendapat bahwa “Alat Peraga Kampanye” yang menjamur dan bergentayangan di tiang-tiang listrik, pagar, pohon, gang, lorong perumahan dan bahkan di lokasi yang semestinya tidak diperbolehkan seperti jalan protokol, gedung pemerintahan, fasilitas kesehatan, rumah ibadah dan lembaga pendidikan bukanlah Alat peraga kampanye (Non APK) yang didefinisikan oleh Undang-undang maupun objek pengawasan Panwaslu/Panwaslih. Spanduk/baliho tersebut tidak lebih hanyalah sebagai alat sosialisasi para caleg yang dipahami secara konvensional dalam upaya meyakinkan kontituen meraih suara pada saat hari pencoblosan.

Meski demikian hal tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi atau alasan pembenar oleh para caleg untuk mencetak dan memasang spanduk/baliho disembarangan tempat dengan mengabaikan etika, estetika, kebersihan serta keindahan kota/kawasan setempat. Nilai-nilai tersebut menjadi tanggung jawab bersama baik caleg, masyarakat dan pemerintah sesuai tingkatannya. Publik berhak dan berkewajiban memastikan spanduk/baliho tidak terpasang di area-area yang idealnya bersih dari segala unsur sebagaimana larangan yang juga disebutkan dalam PKPU. Hal ini semata-mata sebagai perwujudan menjunjung tinggi kemaslahatan bersama dan kepentingan umum.

Sejatinya spanduk/baliho (Non APK) tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk menertibkan dan bukan bagian dari objek pengawasan pemilu. Bahkan jika terpasang tanpa izin ditempat milik perseorangan dan badan swasta dapat langsung ditertibkan/diturunkan oleh pemilik tempat dimaksud. Jikapun penertiban dilakukan oleh Satpol PP atas rekomendasi Lembaga panwaslu maka itu merupakan bentuk tanggung jawab moral bukan tanggung jawab hukum.

APK sebagai objek Hukum Lembaga Panwaslu
Dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 8 tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum, terkait pengawasan pemasangan APK diatur dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa Pengawasan pemasangan APK ditempat umum dilakukan dengan memastikan APK yang dicetak dan disebar dalam bentuk dan ukuran sesuai ketentuan, desain dan materi APK sesuai yang diserahkan kepada KPU/KIP, APK yang difasilitasi sesuai dengan yang diserahkan peserta pemilu, adanya surat keputusan penetapan jumlah maksimal alat peraga dan adanya persetujuan dari KPU/KIP untuk penggantian APK yang rusak pada lokasi dan jenis APK yang sama.

Sedangkan dalam pasal 26 disebutkan Dalam hal ditemukan APK yang melanggar ketentuan maka panwaslu memberikan rekomendasi Penurunan dan pembersihan APK kepada pihak terkait, dalam hal ini panwaslu berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Dalam aturan tersebut jelas diatur objek yang menjadi Kewenangan Panwaslu serta tindakan yang dilakukan jika ditemukan pelanggaran dalam Kampanye pemasangan APK. Yang menjadi permasalahan adalah sampai saat ini APK yang dimaksud tersebut belum terealisasi dilapangan dikarenakan harus melalui proses pengadaan yang membutuhkan waktu relatif lama sehingga publik atau bahkan pihak yang berkepentingan dalam pemilu belum dapat membedakan antara APK atau non APK.

APK dan Non APK
Dari serangkaian argumentasi diatas setidak-tidaknya kita dapat memahami serta membedakan mana yang disebut Alat Peraga Kampanye dan Alat Sosialisasi Non APK.

Alat sosialisasi Non APK adalah segala aktifitas para calon anggota legislatif yang memakai media spanduk/baliho untuk kepentingan pribadi dalam rangka menarik simpati masyarakat dan berpotensi kontradiktif dengan nalar publik serta terabainya nilai-nilai etika dan estetika, Alat sosialisasi ini kewenangan sepenuhnya berada pada pemerintah setempat untuk ditertibkan atau diawasi secara gotong royong oleh masyarakat.

APK adalah Alat peraga Kampanye yang sah menurut Peraturan perundang-undangan baik subjek hukum, materi dan desain, jenis, bahan dan ukuran, waktu dan lokasi pemasangan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang yaitu KPU dan KIP sesuai tingkatannya serta bagian dari objek Pengawasan lembaga pengawas pemilu.

Saran dan Harapan
Melalui tulisan ini, Penulis menyarankan agar KIP, Panwaslu, Peserta Pemilu dan Pemerintah mempunyai satu persepsi dan definisi yang sama dalam memaknai APK sebagai Alat Peraga Kampanye sesuai ketentuan Perundang-undangan serta konsekwensinya dan menyampaikan kepada masyarakat dengan narasi yang mudah dimengerti dan dipahami sebagai salah satu bentuk pendidikan politik dan kepemiluan.

Dengan harapan seluruh elemen Masyarakat dan peserta pemilu dapat membedakan antara APK dan Non APK serta mengetahui sejauh mana kewenangan Panwaslu dalam pengawasan pemasangan APK dan kewenangan pemerintah/masyarakat terhadap Spanduk (non APK) yang berpotensi menggangu ketertiban umum.

(MAHLIL, S.H/Ketua Panwaslu Kecamatan Banda Sakti)
Note: Tulisan ini adalah Pendapat pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar